MEDIATOR BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA (NU)
UNTUK MEMENUHI
TUGAS : BAHASA INDONESIA
DOSEN PEMBIMBING :
Dra. Umi Kalsum, M. Si
DISUSUN OLEH :
SAGAP
UNIVERSITAS
SUNAN GIRI SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
2011-2012
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat
dan taufiq-Nya kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik demi untuk melaksanakan tugas makalah ini. Dan saya sadar mungkin
dari makalah saya terdapat kesalahan-kesalahan karna saya dalam proses belajar.
Oleh karna itu, saya sebagai penulis memohon saran dan bimbingannya demi
terselenggaranya makalah ini untuk lebih baik kedepan. Dengan ini saya beri
judul yaitu “MEDIATOR BERDIRINYA NU” karna salah satu organisasi dan ormas terbesar
di Indonesia adalah NU atau umumnya dikenal dengan “NAHDLATUL-ULAMA”.
Saya
ucapkan terima kasih kepada Dosen yang telah membimbing saya dalam pembuatan
makalah ini, dan tak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman
yang telah mendukung saya dalam menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermamfaat buat generasi penerus saya.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................. . 1
Daftar
Isi........................................................................................ 2
BAB I : Pendahuluan
A.
Latar belakang
.................................................................... 3
B.
Rumusan masalah
............................................................... 3
C. Tujuan
masalah.................................................................... 4
BAB II : Pembahasan
A.
Bocah Madura
lahir di mekkah............................................ 5
B.
Menjadi
mediator berdirinya
NU........................................ 5
BAB III :
Penutup
A.
Kesimpulan.......................................................................... 9
Daftar Pustaka................................................................................ 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yang
melatar belakangi saya dalam pembuatan makalah ini adalah sebuah tugas pribadi
study kuliah PMP yang telah diberikan oleh dosen kepada saya. Karna akan
digunakan untuk proses belajar mengajar dalam perkuliahan dan juga sebagai
sumber referensi untuk perkuliahan.
Semua itu akan sangat berguna dalam
perkuliahan karna apabila kita dalam mempelajari suatu materi dan tidak
mempuyai sumber referensi maka ilmu yang akan kita dapat tidak maksemal dan
akan kesulitan untuk menangkap meteri secara utuh apalagi kita hanya orang
biasa yang akan mudah lupa terhadap sesuatu yang baru diketahui karena tidak
punya pengangan untuk belajar,oleh karna itu meskipun makalah saya kurang
sempurna paling tidak ada pengangan untuk pelajar dalam perkuliahan.
Maka sekian
sesuatu yang melatar belakangi saya dalam pembuatan makalah ini, kurang dan
lebihnya saya ucapkan banyak terima kasih...!!!
B. Rumusan Masalah
Dalam sejarah ini saya ingin
mengulas bagaimana sosok Kiai As’ad menjadi Ulama terkenal di Pulau Jawa, khususnya
Sukorejo. Sekitar tahun 1925-1950 berdirilah Madrasah Ibtidaiyah (setingkat
SD), Tsanawiyah (setingkat SMP) dan Aliyah (setingkat SMA) disanalah Kiai As’ad
mewariskan ilmu-ilmunya kepada murid yang telah belajar di pondok pesantrennya.
1. Siapakah Kiai As’ad
itu................................................................. ?
2. Bagaimana sosok Kiai As’ad
itu.................................................... ?
3. Dimanakah tempat beliau dilahirkan.............................................. ?
C. Tujuan Masalah
Tujuan masalah dalam makalah
ini adalah menerangkan bagaimana Kiai As’ad itu menjadi “Meniator Berdirinya Nahdlatul
Ulama (NU)”, beliau mengambarkan betapa susahnya mendirikan jam’iyah ulama
tersebut, hingga KH. Kholil Bangkalan-Madura, perlu dua kali mengutus dirinya
pergi ke Tebuireng-Jombang untuk menyampaikan sesuatu (pelambang-pelambang)
kepada KH. Hasyim Asy’arie. Waktu itu Kiai As’ad memang sudah nyantri di podok
KH. Kholil Bangkalan, peran inilah yang kemudian dinamakan sebagai “Mediator Berdirinya
Nahdlatul Ulama (NU)”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bocah Madura Lahir di
Mekkah
Kiai As’ad, yang berdarah Madura asli. Lahir tahun 1897 di Mekkah
ketika orangtuanya menunaikan ibadat haji. Adek satu-satunya Kiai As’ad yaitu Abdurrahman juga lahir di kota
suci itu dan bahkan menjadi hakim dan meninggal di Arab Saudi.
Pada umur 6 tahun oleh ayahnya KH. Syamsul Arifin, seorang ulama besar di Madura, Kiai As’ad ditaruh di Pesantren
Sumber Kuning-Pamekasan.
Menginjak usia 11 tahun Kiai
As’ad diajak ayahnya menyeberangi laut dan membabat hutan di sebelah timur
Asembagus yang waktu itu terkenal angker “Dulu tidak ada orang kecuali ha-
rimau dan ular berbisa,” kata Kiai
As’ad mengenang. Di bekas hutan perawan itu, mereka membangun permukiman yang kemudian menjadi Desa
Sukorejo.
Pada usia 16 tahun bersama seorang adiknya Abdurrahman dan As’ad dikirim kembali ke Mekkah dengan harapan setelah pulang
mewarisi Pesantren Sukorejo. Hanya 3 tahun bertahan di Mekkah, ia
kembali ke tanah air dan masih belajar di beberapa pesantren. Di berbagai
pondok ini, bukan cuma agama yang dipelajari, juga ilmu silat, dan ilmu
kanuragan.
B. Menjadi Mediator Berdirinya NU
As’ad juga pernah belajar di Pondok Tebuireng pimpinan KH. Hasyim Asy’ari, dan menjadi kurir ulama ini
menjelang lahirnya NU tahun 1929. Dalam banyak buku
sejarah tentang NU, baik yang ditulis lembaga resmi NU sendiri (Lajnah Ta’lif
Wan Nasyr) maupun oleh orang luar, tidak berceritata sedikitpun mengenai peran
Kiai As’ad dalam kaitannya dengan rencana berdirinya organisasi tersebut. Bisa
dimaklumi, barangkali karna Kiai As’ad memang enggan menceritakan peran
sejarahnya lantaran khawatir terbawa ke dalam sifat riya’.
Namun, pelaku sejarah apapun
dan dimanapun, tetap akan bercerita perihal peranannya manakala situasi
mengizinkan. Dan inilah yang terjadi pada Kiai As’ad, meski pada mulanya beliau
enggan bercerita mengenai peran penting dirinya sebagai “Mediator Berdirinya
NU”, namun ketika Jam’iyah ini dilanda kemelut yang berkepanjangan (di awal
tahun 1980-an) akhirnya toh bercerita juga. Setelah NU berkembang, ia ternyata tak terpaku hanya pada NU.
As’ad juga memasuki Sarekat Islam selama pernah menjadi anggota organisasi
Penyedar yang didirikan Bung Karno. Di sinilah As’ad kenal dekat dengan Presiden pertama ini. Di tengah gejolak perjuangan itu 1939 Kiai As’ad menyunting gadis Madura, Zubaidah. Dan kini dikaruniai lima anak. Si bungsu satu-satunya
lelaki, Ahmad Fawaid kini baru 14 tahun, 4 anak perempuannya semua
sudah kawin dan memberinya 9
cucu serta tiga buyut.
Pesantren
Sukorejo di bawah KH. As’ad kini berkembang dengan pesat. Terletak dipinggir
jalan raya Situbondo Banyuwangi, 7 km sebelah timur Kecamatan Asembagus. Dipintu gerbangnya tertulis bahasa Arab
Ahlan Wa Sahlan dan bahasa Inggris Welcome. Dipondok ini selain dikembangkan
pendidikan gaya pesantren, juga ditumbuhkan pendidikan umum, SMP, SMA, dan
Universitas Ibrahimy. Santri yang mengaji dipesantren sekitar 3.000, dan jika dihitung semua siswa (santri dan
murid sekolah umum) berjumlah 4.100 orang. Kompleks ini dijuluki “Kota Santri”.
Di pondok ini ada sebuah masjid yang tidak begitu besar. Tetapi Kiai As’ad membangun masjid yang
jauh lebih besar di luar kompleks Barangkali dimaksudkan agar para santri lebih menyatu dengan masyarakat
sekitarnya.
Kiai yang rajin memelihara tanaman hias ini pernah mempunyai seekor kuda
putih warna kegemarannya.
“Nabi Ibrahim kudanya juga putih,” katanya tentang kuda itu. Sayang, kuda itu telah mati dan belum
ditemukan kuda putih sebagai pengganti. Namun, ada kuda lebih gesit yang
dimiliki Kiai sekarang, yaitu “Mobil
Kolt” juga putih.
Selain rajin mengurusi enam ekor ayam hutannya, Kiai ini juga memelihara seekor burung beo
yang pintar berbicara. Jika ada tamu yang datang, burung itu memberi salam “Assalamu’alaikum”, dan bila sang tamu membalas tegur sapa sang
beo, biasanya tamu lantas ketawa, lantaran si beo membalas dengan kata-kata
assooii…!! Menurut santri di sana menyerukan Allahu Akbar bila bergema suara azan. “Burung ini
pemberian orang sebagai hadiah” kata
seorang pembantu Kiai As’ad.
Toh ada yang khawatir tentang pesantren yang populer di Jawa Timur ini. termasuk Kiai As’ad sendiri.
Pasalnya, adalah soal usia Kiai yang sudah cukup sepuh, sementara pewaris
satu-satunya Ahmad Fawaid masih sangat muda “Saya tak tega menyekolahkan Ahmad
ke Arab Saudi, usianya masih muda mungkin tiga tahun lagi,” ujar Kiai “Sang Putra Mahkota”,
walau tekun juga mengaji bersama teman sebayanya, kamarnya penuh dengan kaset,
radio, televisi, bahkan video.
Sebagai anak muda, “hampir setiap saat ia tenggelam dengan hiburan itu”
ujar seorang pembantu Kiai. Untuk Ahmad Fawaid memang disediakan kamar khusus
yang jauh dari rumah papan Kiai As’ad. Tapi sejak beberapa waktu lalu telah
ditunjuk KH. Dhofir Munawar menantu Kiai As’ad dari anak pertamanya,
sebagai pengelola pesantren sehari-hari.
Setelah menjadi anggota
Konstituante 1959, ia tak lagi tergiur pada jabatan politik. Ia menolak jabatan
yang disodorkan Bung Karno untuk menjadi menteri agama di zaman Nasakom.
Bahkan, sebagai ulama yang cukup terpandang di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), ia juga menolak ketika
ditawari untuk menjadi Rois Am, bahkan Rois Akbar.
KHR. As’ad
Syamsul Arifin, pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Desa Sukorejo,
Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo-Jawa Timur, agaknya memang hanya
tertarik mengurusi pesantrennya. “Saya ini bukan orang politik, saya ini
orang pesantren,” kata Kiai
berusia 86 tahun itu. Lebih-lebih karena pengalaman selama menjadi anggota
Konstituante 1957-1959 selama itu pula
pesantrennya sangat mundur.
Bukan berarti Kiai As’ad menyembunyikan diri dari
keriuhan politik dan hingar-bingar NU, yang sampai kini tak pernah selesai
tuntas. Terbukti dari kegiatannya menerima tamu yang tak putus-putusnya. Banyak
pengamat menilai, Kiai As’ad adalah salah seorang dari sedikit ulama yang
pandai menjembatani jika ada “ketegangan” antara pemerintah dan umat Islam,
khususnya NU. Ketika ribut-ribut soal buku PMP, Kiai As’ad tanpa banyak bicara,
langsung menemui Pak Harto “Bagaimana
Pak, buku PMP ini kan bisa merusak akidah umat Islam” kata Kiai mengulang
pembicaraan yang sudah setahun lebih itu. Berbicara begitu, Kiai As’ad memberi
beberapa contoh yang semestinya dikoreksi. Pak Harto, menurut Kiai, berjanji
akan menyelesaikannya. “Ternyata buku itu akhirnya disempurnakan” kata Kiai,
yang sudah 15 kali ke Mekah.
Di saat ribut-ribut soal Asas
Tunggal Pancasila, awal
Agustus untuk kesekian kalinya, Kiai As’ad menemui Pak Harto di Cendana.
Pertemuan itu yang dihadiri juga oleh Menteri Agama KH. Munawir Syadzali yang
direncanakan cuma 15 menit, mekar menjadi 1 jam. Kepada Presiden ditegaskan
pendirian NU yang menerima Pancasila. “Ini penting ditegaskan, karena NU sejak
semula berlandaskan Pancasila dan UUD 45” tuturnya Kiai sambil manggut-manggut.
Bahkan Kiai As’ad lebih menegaskan, “Islam wajib menerima Pancasila, dan haram
hukumnya bila menolaknya karna Sila
pertama itu selaras dengan doktrin Tauhid
dan Qulhuallahu Ahad.”
Dalam kemelut NU Rois Am KH. Ali Ma’shum bersama pengurus NU lainnya,
mondar-mandir ke Situbondo. Kiai As’ad dipercayai menjadi “penengah” penyelesaian
kericuhan. Setelah KH. Idham Chalid sebagai
pucuk pimpinan PBNU menyatakan mundur dan kemudian mencabut pernyataan itu.
Dipesantrennya, Kiai
menempati rumah sederhana berdinding papan berukuran 3 x 6 meter. Rumah yang
terletak di antara asrama santri wanita dan santri pria itu tergolong paling
jelek di Desa Sukorejo. Tapi tidak sembarang tamu boleh berkunjung ke rumah itu, sebab yang diterima disana hanya
yang sudah dianggap keluarga. Para pejabat dari lurah sampai menteri diterima
di rumah yang lebih bagus yaitu rumah milik
anaknya. Di rumah si anak tersedia ruang berukuran sekitar 30 m2 yang digelari
permadani untuk tamu yang ingin bermalam atau terpaksa bermalam, menanti
giliran menemui Kiai, yang semua gigi atasnya sudah tanggal.
Dipesantren seluas 7 hektar inilah nanti, November 1983, akan berlangsung
Musyawarah Nasional NU. Untuk itu, semua biaya ditanggung pesantren pimpinan
Kiai As’ad ini. Warga NU di Situbondo dan Bondowoso langsung terlibat. “Akan
saya perintahkan untuk menyumbang beras 1 kg
setiap orang”, kata Kiai.
Beras itu dimaksudkan untuk konsumsi peserta musyawarah nasional yang
diperkirakan lebih dari 1000
orang. Kiai yang tampak sehat ini tak menjelaskan agenda munas itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai ulama, pemimpin dan tokoh
masyarakat, Kiai As’ad menjadi tokoh panutan umat. Segala tutur kata dan
tingkah lakunya selalu menjadi ukuran hidup banyak orang. Kedalaman ilmu dan
satunya kata dengan perbuatan yang dilengkapi sikap Khosyyah kepada Allah SWT,
merupakan ciri khas kepemimpinannya yang sulit ditandingi. Beberapa sikap hidup
yang ditempuhnya dan sangat tepat untuk diteladani generasi selanjutnya adalah
sikap-sikap seperti berikut:
- Zuhud dan sederhana.
- Ulama pejuang.
- Teguh memegang prinsip.
- Ikhlas dalam beramal/berjuang.
- Rendah hati/tawadhu’ dan tidak pendendam.
- Disiplin waktu dan istiqomah.
- Suka silaturrahim dan ziarah ke Makam Sunan.
- Hidup mandiri dan menjaga kebersihan
- Gemar membangun untuk agama dan bangsa
Begitulah kehidupan Kiai Asa’ad,
mudah-mudahan kita sebagai generasi penerus-nya bisa meneladani dan lebih-lebih
bisa menerapkan dalam kehiduan kita sehari-hari. Amien Amien Ya Robbal
Alamien...........
DAFTAR PUSTAKA
1.KHR.Ach.Fawaid,1994,As’ad,riwayat
hidup kiai As’ad Syamsul Arifin, Penerbit,CV.TOHA PUTRA Semarang.